Opini: Ini Kata Hendra Terkait Kepemiluan Partisapasi Bukti Kedaulatan dan Kepercayaan Masyarakat

Opini: Ini Kata Hendra Terkait Kepemiluan Partisapasi Bukti Kedaulatan dan Kepercayaan Masyarakat

LUWU UTARA,MBNEWS.CO.ID- Menyambut momentum tersebut, Hendra mengutarakan pandangannya dengan mengatakan bahwa, kunci menyukseskan penyelenggaraan pemilu adalah, membangun partisipasi masyarakat.

“Menyukseskan pesta demokrasi lima tahunan harus dilakukan sedini mungkin tanpa harus menunggu tahapan berlangsung, sebab kesadaran akan tanggung jawab menciptakan proses demokrasi yang baik dan melahirkan pemimpin bangsa bukan bergantung pada setiap tahapan pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum,” kata Hendra Kamis (13/4/2023)

“Sangat dilema jika ruang ruang strategi partisipasi masyarakat berlalu begitu saja atau hanya digaungkan pada saat momentum tahapan berjalan, sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah permanen di tingkat Kabupaten/Kota,” tambahnya.

“Sehingga dua lembaga ini memungkinkan bersinergi tidak lagi memulai dari nol di setiap tahapan, namun memberikan edukasi demokrasi dan politik kepada masyarakat di setiap saat, baik pada tingkatan penyelenggara dan pemerintah bahkan di partai politik pun ada ruang ruang edukasi yang semestinya digunakan agar rantai pemahaman tentang demokrasi tidak terputus di tengah tengah masyarakat,” lanjut seorang tokoh pemuda asal Luwu Utara ini.

Menurutnya, di setiap hajatan demokrasi, penyelenggara semestinya mengajak masyarakat untuk selalu ikut berpartisipasi, memberikan peran aktif, mengawasi sebagai upaya bersama dalam melahirkan pemimpin yang baik.

Ia menilai, hal tersebut hanyalah dilaksanakan dalam bentuk program di setiap tahapan yang pada dasarnya kurang maksimal, sebab, ada deadline tahapan yang harus dicapai sehingga terkadang pelaksanaannya secara administratif lengkap namun secara subtansi tidak terwujud.

Itu dikarenakan, adanya batasan waktu dan tahapan yang telah ditentukan. Mengakibatkan, visi mengikutsertakan masyarakat dalam proses partisipasi tidak maksimal.

“Setidaknya ada beberapa hal yang membuat proses pembangunan pola partisipatif kurang maksimal selama ini, pertama, sering kali program upaya meningkatkan partisipasi masyarakat digalakkan pada saat tahapan pesta demokrasi dimulai, padahal sesungguhnya ruang yang paling tepat mengisi, memberikan dan memelihara edukasi demokrasi di tengah-tengah masyarakat adalah saat masyarakat tidak diperhadapkan pada calon legislatif maupun eksekutif untuk dipilih,” ungkap Hendra.

“Kepentingan untuk menentukan pilihan, tidak ada batas waktu tahapan yang mengejar, sehingga pada saat hajatan pesta demokrasi masyarakat tidak lagi kaget atau minimal penyelenggara tidak lagi membuang terlalu banyak tenaga melaksanakan kegiatan yang sifatnya teoritis sebab masyarakat telah terbiasa dengan edukasi demokrasi. Penyelenggara tinggal menjalankan mekanis teknis pemilihan dan Pemerintah fokus pada proses memberikan fasilitas agar tahapan berjalan dengan maksimal,” tambahnya.

“Kedua, secara subjekti, jika kita melihat secara struktural penyelenggara sangat terbatas, apa lagi ditingkat desa yang notabenenya mereka yang langsung bersentuhan dengan akar permasalahan, belum lagi masa kerja dan sumber daya manusia juga terbatas tentang demokrasi, tentu ruang-ruang edukasi tentang partisipasi tidak bisa terlalu digantungkan atau diharapkan kepada penyelenggara Ad Hock sebab perekrutan dilakukan hanya pada saat tahapan berlangsung dan bekerja sesuai petunjuk yang ada,” lanjut Founder Rumah Demokrasi Tana Luwu ini.

Hendra beranggapan, apa yang ia sampaikan, berdasarkan dengan Undang Undang Pemilu, baik Peraturan Bawaslu (Perbawaslu), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan regulasi lain yang terkait dengan pemilihan.

“Karena ruang edukasi dan kesempatan sangat terbatas untuk penyelenggara Ad Hock melakukan kerja-kerja partisipasif, maka diperlukan formula baru bagaimana mengedukasi masyarakat terkhusus pada penyelenggara sampai ke tingkat desa, sehingga pengetahuan dan karakter tetap melekat ditengah masyarakat, keterlibatan disetiap kegiatan sosial kemasyarakatan sebagai penyelenggara sangat penting untuk dijaga agar kepercayaan diri dan nilai-nilai kehormatan penyelenggara, selalu terjaga,” tutur Hendra.

“Ketiga, secara objektif, jika kita lihat dari wilayah kerja administrasi, masih ada wilayah yang belum berimbang antara edukasi demokrasi dan kepentingan politik yang ada ditengah masyarakat, belum lagi sumber transparansi data kepemiluan masih terbatas untuk diakses oleh masyarakat sehingga mengurangi minat peran masyarakat untuk ikut berpartisipasi pada saat hajatan atau tahapan berlangsung,” tambahnya.

“Sebab, mereka merasa yang dibutuhkan hanya suara mereka saja dan ini sangat rawan menciptakan ruang ketergantungan untuk masyarakat dalam menentukan pilihannya. Dari permasalahan ini, maka perlu dilakukan publikasi setiap tahapan dan perubahan yang terjadi, agar masyarakat merasa memiliki ruang-ruang demokrasi diluar tahapan pemilu,” lanjut salah seorang pendiri organisasi kedaerahan (Hikmah Lutra) ini.

“Keempat, program yang dilaksanakan oleh penyelenggara setelah momentum tahapan selesai, terkadang hanya bersifat internal kelembagaan padahal seharusnya ada giat sosial dan edukasi yang mesti dilaksanakan berkaitan dengan tahapan selanjutnya, sebab, telah ada hasil evaluasi tahapan maupun daftar indeks masalah yang terjadi sehingga lembaga penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu dan jajaran dapat melakukan upaya edukasi ke masyarakat diluar tahapan-tahapan yang ditentukan tiap momentum,” tandasnya.

lebih jauh Hendra mengutarakan bahwa, harusnya, penyelenggara melakukan program menjemput sekaligus mengantarkan informasi bukan menunggu. “Pola menjemput dengan menyatukan simpul-simpul aktifitas masyarakat, aktif membahas proses demokrasi tentu akan memberikan ruang-ruang komunikasi ditengah masyarakat dalam upaya menciptakan sinergitas untuk melahirkan hasil demokrasi yang benar-benar berdasarkan tujuan pemilihan,” ujarnya.

Dirinya menuturkan, jika setiap instansi terkait dan komponen pemerhati demokrasi menggunakan data terakhir hasil pemilihan, apakah itu pilkada atau pun pemilu, maka dapat menjadi bahan evaluasi, edukasi dan penguatan partisipasi masyarakat sehingga penyelenggara dan pemerintah bisa fokus pada peningkatan kualitas proses maupun perbaikan data pemilih.

“Jika tahapan dimulai data pemilih selalu mengalami permasalahan, oleh karena itu, untuk perbaikan data pemilih cara paling efektif adalah melakukan koordinasi yang intens secara dini, dari sumber awalnya yaitu pemerintah desa. Pemerintah dalam hal ini dinas kependudukan, dengan berbasis pada data faktual kependudukan setiap saat di desa. Mengapa harus diawali di desa setiap saat, karena budaya masyarakat kita masih ada yang memiliki ketidakpedulian terhadap singkronisasi data kependudukannya sebagaimana mestinya,” pungkasnya.

Seorang pemuda ini, juga menjelaskan bahwa, Lembaga Bawaslu, KPU, Pemerintah bahkan Partai Politik (Parpol), sekaitan upaya membangun partisipasi maupun perbaikan data pemilih pasca tahapan, itu dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan.

Seperti halnya pendekatan sosial, sangat memungkinkan dilakukan untuk mengedukasi masyarakat, menyampaikan pemahaman tentang regulasi, memberikan pemahaman tentang bahaya politik uang dan sebagainya.

Hendra menyebut, tidak perlu menunggu tahapan berlangsung ketika ingin melaksanakan perintah undang-undang pemilu, sebab, tentu akan diperhadapkan dengan berbagai aktifitas.

“Salah satu kabupaten yang melakukan pemilihan kepala daerah di tahun 2020 adalah Kabupaten Luwu Utara, pemetaan ruang partisipasi tidak terlalu sulit dan sangat strategis, sebab pontensi pada pilkada tahun 2018 dapat dijadikan tolak ukur sehingga partisipasi di pemilu 2019 sekitar 70-80 persen di Luwu Utara

Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan  Pemilu beririsan sehingga hasil dari itu, tentu memudahkan masyarakat untuk menerima program edukasi, sebab bayangan tentang pemilihan masih terekam jelas di memori masyakarat, tidak ada rentan waktu, maka dengan begitu akan memudahkan penyelenggara dan pemerintah sebagai mitra dalam hal menyiapkan proses penyelenggra yang lebih baik,” sebutnya.

“Karena masyarakat lebih dini mengajak kelompok pemuda di tingkatan desa maupun pada tingkatan mahasiswa dan tokoh tokoh masyarakat untuk melakukan diskursus tentang pemetaan potensi yang memungkinkan terjadi di Pilkada 2020 serta menciptakan ruang kajian dengan pemerhati demokrasi tentang beberapa kewenangan penyelenggara terkait UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 dan relevansi dengan UU No 7 tahun 2017, selain itu, melakukan update data pemilih berbasis desa dengan mengembangkan pola kemitraan atau relawan demokrasi untuk melakukan kroscek data pemilih menggunakan data terakhir dengan melibatkan perangkat ex penyelenggara ditiap tingkatan minimal pada ruang keterbukaan informasi,” tambah Hendra.

“Keluar dari zona nyaman dengan kata lain disela sela pasca pemilu 2019 kegiatan-kegiatan penguatan kelembagaan penyelenggara lebih difokuskan pada pendekatan masyarakat untuk membangun kepercayaan publik bahwa membangun partisipasi masyarakat tidak selalunya bergantung pada tahapan dan anggaran namun bagaimana mampu berbaur dikegiatan kegiatan sosial masyarakat lainnya dan mejalan program edukasi yang produktif. Misalkan mengaktifkan buletin mingguan tentang edukasi pengawasan dan partisipasi, di kegiatan sosial keagamaan, menghadiri pengajian serta membentuk kelompok perdesa sadar pemilu,” lanjutnya.

Terakhir, ia menyatakan bahwa, dengan bermodal koordinasi dan membuka ruang sosial akan lebih memudahkan penyelenggara dalam mencapai tujuan partisipasi yang maksimal.

“Satu hal yang harus menjadi perhatian dalam upaya merawat demokrasi dan memaksimalkan edukasi adalah peran media sosial, Online serta media cetak, sebab dengan menjadikan media sebagai medium kemitraan tentu dengan sendirinya menyasar kaum Milenial, Jika secara kelembagaan memungkinkan bersama sama melaksanakan pelatihan jurnalistik dengan tema demokrasi, sebab data yang ada menunjukkan bahwa pemilih milenial/muda lebih banyak dibanding dengan pemilih yang sudah lanjut usia,” ujarnya.

“Memang tidak mudah membangun pola partisipasi masyarakat dalam mengawal demokrasi bangsa ini, mengingat Lembaga Penyelenggara masih terbilang muda, tantangan masih banyak namun bukan berarti kita harus berhenti dan tidak mencoba melakukan apa yang bisa kita lakukan, sebab lebih sulit jika kita menunggu tahapan baru berinisiasi kembali membangun partisipasi masyarakat karena ada ruang edukasi yang terputus di sana, sehingga mindsed yang difahami, penyelenggaraan demokrasi sangat bergantung pada anggaran tanpa melihat modal pendekatan sosial serta kearifan lokal yang ada." kuncinya